• All
  • Category 1
  • Category 2
gravatar

Apresiasi Buku "Jurnalistik televisi – Menjadi Reporter Profesional" karya Deddy Iskandar Muda (Uswatun Khasanah)


T11/OJ/2010

Uswatun Khasanah
210110090192

Di bab pertama dijelaskan mengenai sejarah televisi, buku ini cukup ringkas dalam mengemas sejarah tersebut, karena kemungkinan orang akan bosan membaca sejarah yang sebenarnya bukan tujuan utama mereka dalam membeli buku ini, karena jika kita bandingkan dengan buku Jurnalistik Indonesia karya
Dimulai dari halaman kelima, dijelaskan bahwa para ahli komunikasi di Jerman menyatakan bahwa media cetak dan radio tidak akan pernah tergeser, hal ini didasari oleh penelitian yang mereka lakukan. Pernyataan ini serupa dengan pernyataan Dandi Supriadi, Dosen Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, yang menjelaskan bahwa media radio berada di peringkat teratas dalam bidang keaktualan, karena media radio tidak memerlukan waktu untuk mencetak, merekam gambar, memutar rekaman tersebut di studio, juga tidak memerlukan bantuan satelit jika ingin mengirim gambar berita langsung dari tempat kejadian. Karena pada dasarnya media radio hanya membutuhkan suara, jika terjadi sesuatu, para reporter maupun koresponden dapat langsung menelepon tempat siaran radio tertentu dan berita tersebut dapat langsung mengudara. Tidak membutuhkan waktu yang lama dan peralatan yang sulit.
Pada halaman 16, dijelaskan bahwa reporter harus menguasai faktor teknis, misalnya hal-hal seperti On/Off Camera Technique, Voice Over, dan lain-lain. Lalui mereka juga harus memahami tahapan produksi seperti Pre Production, Production, dan Post Production. Sayangnya istilah ini tidak diikuti dengan penjelasan, alangkah baiknya jika ada penjelasan singkat dan padat, setidaknya satu kalimat penjelasan yang ditujukan kepada pembaca awam yang belum mengerti sama sekali mengenai jurnalisme televisi maupun siaran televisi. Di paragraf ini juga terdapat kesalahan cetak pada kata ‘dan’ dari frasa “Pre Production, Production, dan Post Production.” Kata ‘dan’ dicetak miring sementara kata tersebut dalam konteks kalimat ini bukanlah bahasa asing, melainkan Bahasa Indonesia. Mungkin penulis maupun editor langsung memiringkan istilah asing yang berada di sekitar kata ‘dan’ tersebut hingga kata tersebut ikut tercetak miring. Namun, lebih baik jika hal-hal seperti ini lebih diperhatikan sehingga tidak menimbulkan salah pengartian.
Di halaman 22 terdapat kalimat yang menjelaskan beberapa kata cakupan berita yang diambil dari dua pendapat ahli di bidang jurnalistik, kalimat tersebut yaitu, “Cakupan tersebut dapat dicatat bahwa kata-kata seperti; fakta, akurat, ide, tepat waktu, menarik, penting, opini, dan sejumlah pembaca/pendengar/penonton merupakan hal-hal yang perlu mendapat perhatian.” Di dalam kalimat tersebut terdapat frasa ‘tepat waktu’, ‘tepat waktu’ berarti waktu yang tepat untuk melakukan hal tersebut, dan bukan berarti aktual. Bukankah untuk beberapa berita tertentu yang dibutuhkan adalah keaktualan, apakah kita harus menunggu waktu yang tepat untuk memberitakan berita? Sementara di halaman ini tidak dijelaskan seperti apa waktu yang tepat itu, apa standarnya, dan sebagainya. Jika ada satu kalimat saja yang menjelaskan tentang frasa ‘tepat waktu’ itu, pasti akan baik dan tidak membingungkan.
Di bab kedua masih membahas tentang teori, yaitu pengertian berita, disini kembali dijelaskan tentang perbedaan antara media cetak dan media eolektronik, terdapat tabel yang membandingkan media elektronik dengan media cetak dari berbagai aspek. Di dalam bab ini juga dijelaskan mengenai memilih materi berita, informasi ini terhitung sangat baik, karena beberapa jurnalis muda terkadang masih bingung ketika mereka harus menentukan materi berita yang mana yang akan mereka gunakan, beberapa poin disini dapat membantu mereka untuk menemukan berita mana yang paling sesuai.
Dalam bab kedua ini, buku ini menerangkan bahwa berita dikategorikan menjadi tiga bagian, ketiganya dibedakan berdasarkan jenis peristiwa dan cara-cara penggalian data. Ketiga bagian itu adalah hard news, soft news, dan investigative reports. Penjelasan di setiap bagian berita tersebut cukup bagus, karena tidak bertele-tele dan langsung masuk ke dalam penjelasan. Penjelasan ketiga berita ini terlihat menggunakan metode segitiga terbalik, penjelasan utama diletakkan di awal dan pada bagian akhir, penjelasannya menjadi lebih ringan yang terkadang diselingi oleh contoh berita.
Memasuki bab ketiga, buku Jurnalistik televisi – Menjadi Reporter Profesional yang ditulis oleh Deddy Iskandar Muda ini mulai menyuguhi penjelasan tentang teknis. Seperti bab-bab sebelumnya, penjelasan yang diberikan dalam setiap bagiannya cukup baik karena menggunakan metode segitiga terbalik, jadi pembaca tidak perlu repot jika ingin mencari definisi dari bagian tersebut, karena akan langsung ditemui pada paragraf pertama. Beberapa contoh berita juga ditampilkan dengan baik dengan sebuah kotak yang berwarna berbeda, membuat pembaca mudah membaca contoh berita tersebut.
Dalam bab keempat dijelaskan tentang cara meliput berita, metode penulisan tetap bagus seperti bab-bab sebelumnya, namun bab ini sama sekali tidak menjelaskan mengenai wawancara. Lagi-lagi bab ini lebih banyak menjelaskan teknis, seperti bagaimana cara mengambil gambar yang bagus. Informasi tersebut juga penting, namun tidak cukup, pembaca butuh lebih dari sekedar itu untuk menjadi reporter profesional seperti tujuan buku ini.
Penjelasan dalam bab kelima ini menambah wawasan dengan diberikan contoh penulisan alur suatu berita yang ditayangkan di televisi. Tabel yang diberikan mudah dimengerti dan tidak mengesankan sesuatu yang sulit dipikirkan. Lalu dalam bab keenam dan ketujuh dijelaskan mengenai peran peran di dalam suatu pemberitaan, terdapat standar prosedur pengoperasian yang harus dilakukan oleh reporter dan pembaca berita, penulisannya dipoinkan sehingga lebih jelas untuk diperiksa satu persatu. Kemudian, ada juga penjelasan mengenai struktur organisasinya, setiap bagian organisasi dijelaskan satu persatu agar pembaca dapat mengerti apa saja peran yang harus dilakukan oleh setiap bagian tersebut. hal ini sangat baik untuk diterangkan karena seringkali masyarakat awam tidak mengerti peran-peran apa saja yang harus dijalankan dalam suatu pemberitaan agar berita tersebut berakhir baik.
Jika dibandingkan dengan buku Jurnalistik Radio – Menata Profesionalisme Reporter dan Penyiar karya Masduki, buku Jurnalistik televisi – Menjadi Reporter Profesional karya Deddy Iskandar Muda ini lebih membahas masalah teknis, namun jurnalistik televisi tidak hanya tentang teknis, pengetahuan seperti wawancara, etika profesional, serta penjelasan mengenai penyiar dan reporter televisi juga dibutuhkan. Buku ini kurang memenuhi rasa ingin tahu para pembaca, dan tidak sesuai dengan judulnya “Jurnalistik televisi – Menjadi Reporter Profesional”, karena di buku ini sama sekali tidak dijelaskan mengenai wawancara. Bagaimana bisa menjadi reporter profesional jika cara mewawancarai yang baik dan benar saja tidak tahu. Ditinjau dari isinya, judul yang lebih cocok untuk buku ini adalah “Tahap tahap membuat siaran televisi yang baik”, didasari oleh begitu banyak teknis yang ada di dalam buku ini. Namun, sisi baik buku ini adalah penulisannya yang mudah dicerna, metode penulisan yang digunakan juga sangat baik. Hal ini penting karena seringkali pembaca tidak menyukai suatu buku karena metode penulisannya yang buruk sehingga menyulitkan mereka untuk mencerna apa yang ingin disampaikan oleh penulis.