• All
  • Category 1
  • Category 2
gravatar

Apresiasi Buku "Jurnalistik Televisi Menjadi Reporter Profesional" Karya Deddy Iskandar Muda

T11/ OJ/ 2010
Frasetya Vady Aditya
210110090216

Buku karya Deddy Iskandar Muda ini secara garis besar memberikan sesuatu yang menarik kepada pembaca. Ia tidak begitu saja membahas masalah teknis, namun dimulai dari sejarah hingga jenis-jenis berita yang akan di tayangkan untuk jurnalistik televisi.
Beberapa yang menjadi sorotan adalah hal-hal teknis yang sudah tidak aktual lagi dengan kondisi indonesia jaman sekarang. Contohnya, wheater reporter yang sebenarnya tidak memiliki peran yang begitu berarti di Indonesia. Karena, kalau cuaca panas berarti tidak hujan, dan begitulah selanjutnya.
Penulis pada awalnya mengungkapkan tentang sejarah adanya sebuah media. Mulai dari acta diurna, hingga ditemukannya mesin cetak oleh Guttenberg. Apabila dibandingkan dengan buku "Jurnalistik Radio" karya Masduki, sejarah hanya akan ditemukan pada buku ini. Bahkan, buku internasional sekelas "Seni Wawancara Radio"nya Jim Beaman pun tidak mengusik soal sejarah. Jelas, buku ini unggul satu langkah.
Beberapa hal mubazir dalam buku ini ketika diungkapkan Four Theories of The Press. Dengan dicantumkannya teori Soviet Communist akan membuat pembaca bingung. Inilah yang tidak difasilitasi penulis. Ia hanya menambahkan kebingungan pembaca tentang teori yang sudah hilang ini. Penulis tidak menjelaskan bagaimana prosesnya apa kelebihan dan kekurangannya.
Hal tersebut terangkum dalam Bab 1 dengan judul "Televisi" yang berisi tentang sejarah, program siaran, dan reporter.
Program siaran berisi tentang program-program yang biasa dijalankan sebuah televisi. Disini juga disajikan teori-teori pers dengan sejarahnya. SUbbab ketiga yaitu "reporter". Hal ini terkesan janggal menurut saya, karena cukup jauh hubungan antara sejarah, program siaran dan reporter. Ada baiknya penulis memikirkan struktur penulisan dengan baik seperti dalam buku "Terampil Wawancara" karya R. FAdhli.

Bab 2 mengenai "Pengertian BErita". Berisi tentang pengertian berita, berita elektronik dan pemilihan materi berita. Dalam bab yang berkutat tentang materi ini, ada beberapa hal yang dapat disoroti. Pada halaman 23 paragraf terakhir yang tertulis: "Wartawan tidak dibenarkan untuk memasukan opini pribadi kedalam berita yang ditulisnya....akan berdampak menurunnya tingkat kepercayaan pembaca/ pendengar/ penonton". Hal ini menggelikan karena, bagi penonoton yang awam, tentu tidak akan mengenali mana berita fakta dan berita yang disisipi oleh opini wartawan. Oleh karena itu, sebaiknya penulis dengan jelas mengatakan bahwa opini boleh ditulis asal masuk dalam rubrik "opini".
Beralih ke "Berita Media Elektronik". PAda halaman 25, di paragraf awal tertulis "...penyajian di media elektronik terasa lebih singkat dibandingkan dengan penyajian di media cetak, jika dilihat dari segi durasi." Saya tercengang mendengarnya. Durasi?. Apakah media cetak menggunakan durasi dalam penyampaiannya?. Ya, memang membaca tapi penyajiannya hanya kertas dalam hitungan lembar atau perkata. Sehingga tidak sinkron apabila dibandingkan dengan durasi. Seharusnya penulis menjelaskan bahwa media elektronik, naskahnya lebih pendek dari pada media cetak. Mungkin seperti itu akan lebih baik.
Selanjutnya, masih di subbab "Berita Media Elektronik" pada halaman yang sama di dua paragraf akhir tertulis "..pembaca dituntut untuk memiliki kemampuan membaca.". Saya yakin, anak TK berusia 5 tahun pun tahu apabila seseorang membeli koran ya untuk dibaca, mengapa dibaca? karena ia bisa membaca. Ya, ini kemampuan mutlak dan jawaban mutlak pula. Karena tidak mungkin orang buta membeli koran. Dengan apa ia akan membaca? mata batin? entahlah tanyakan pada penulis.
Lalu di halaman 26, pada paragraf di atas tertulis "...penyandang cacat bisu tuli masih memungkinkan untuk dapat memahami isi informasi yang tengah disampaikan medium televisi tersebut". Ya saya setuju, namun dengan catatan, penyandang cacat tersebut dapat membaca.
Lalu subbab berikutnya yaitu "memilih Materi Berita" terdapat sepuluh pilihan berita yang biasanya ada di sebuah televisi. yang menarik perhatian saya adalah proximity atau kedekatan. Ternyata contoh yang diberikan Deddy malah membuat saya berprasangka bahwa proximity akan menimbulkan kekacauan yang diakibatkan oleh adanya serangan kelompk lain. Karena ia memberi contoh  pada persitiwa penumpasan muslim bosnia. Ia menggunakan kata-kata "menggugah solidaritas umat islam". Inilah yang saya maksud peperangan akan terjadi akibat adanya proximity. 

Bab 3 yaitu tentang "Menulis Naskah Berita Televisi". Disini disajikan cara-cara teknis beserta penyajian dan contohnya secara gamblan. Mulai dari format penulisan, struktur berita, tanda baca hingga keselarasan. Semuanya diungkapkan secara jelas dengan memanfaatkan contoh yang divisualisasikan dlaam tabel sehinggat terlihat lebih menarik.

Bab 4 berjudul "MEliput BErita Hingga Siap Siar". Disini dituliskan pengalaman Deddy dalam mencari berita secara eksplisit. lalu, caranya menggambarkan sebuah peristiwa kedalam sebuah televisi dapat lebih mudah dicerna. Beberapa hal yang disayangkan adalah penggunaan istilah teknis yang seperitnya sudah agak ketinggalan jaman. Terlihat pada halaman 124 hingga 126. Namun, setidaknya hal ini sudah dapat mewakili cara menyiarkan sebuah berita hingga siap untuk disiarkan.

Saya mengapresiasi bab 5 dan bab 6. Karena pembaca awam seperti saya dibuat mengangguk tanda mengerti. Tidak ada keraguan bahwa penulis adalah orang kredibel dengan pengalaman yang banyak. 

Ada satu hal yang membuat saya menyeringai pada bab 7 tentang struktur. Disana tertulis "Pembantu Redaksi". Saya pikir kerjanya mirip dengan pemred. Namun ternyata, lebih dari itu. Pembantu disini adlaah kalimat sesungguhnya dari kata "bantu" dan makna denotatif dari pembantu rumah tangga. karena ia yang mengurusi segalanya, ia yang mengoperasikan. Oleh karena itu, seharusnya orang-orang seperti inilah yang memiliki gaji besar dalam sebuah media.

Secara keseluruhan, buku yang ditulis ini cocok bagi orang yang ingin belajar jurnalistik televisi. Ditulis oleh ornag yang berpengalaman di bidangnya. Namun sayang, ada beberapa ketidaksesuaian antara tulisan dan logika, terutama logika saya sebagai pembahas. Namun, buku ini dapat menjadi referensi utama dalam memilih buku jurnalistik televisi.