• All
  • Category 1
  • Category 2
gravatar

Apresiasi Buku "Jurnalistik Televisi: Menjadi Reporter Profesional" karya Deddy Iskandar Muda


T11/OJ/2010                                                                          
Destyananda Helen
210110090234

Dalam menganalisis buku ini saya menggunakan buku Bahasa Jurnalistik karya AS Haris, buku Asyik Berbahasa Jurnalistik, artikel Wawancara dalam Konteks Jurnalisme karya Sahala Tua Saragih, dan artikel Televisi Ditindjau Kembali oleh Prof. Wilbur Scramm dalam Madjalah Ilmiah Bidang Komunikasi Massa Publisistik edisi Djuli 1972.
Cover buku Jurnalistik Televisi ini menggunakan gambar beberapa wartawan di dalam sebuah kotak yang sedang mewawancarai seseorang. Menurut saya, gambar ini cukup menggambarkan isi buku ini. Kotak tersebut menurut saya sudah menggambarkan wujud televisi. Judul buku ini juga sesuai dengan gambar cover, jadi kedua unsur ini membentuk suatu kepaduan.
Prof. Wilbur Scramm dalam artikel Televisi Ditindjau Kembali mengatakan bahwa
Televisi adalah “glamour girl” kita. Ketika ia datang di kamar, kita djuruskan perhatian kita kepadanja dan tidak kepada saudaranja jang lebih sederhana jaitu radio.

Hal ini yang menyebabkan televisi berkembang pesat. Dalam pengantar buku Jurnalistik Televisi ini dikatakan bahwa perkembangan televisi di Indonesia sangat pesat, dilihat pada tahun 1989 muncul RCTI, lalu pada tahun 1990 sudah ada sebelas stasiun televisi swasta. Hal yang aneh dalam pengantar buku ini, dikatakan bahwa judul buku ini berjudul “Reporter Televisi Profesional”, sedangkan judul yang tertera di cover yaitu Jurnalistik Televisi.
Pada bagian daftar isi, menurut saya penulisannya kurang sistematis. Pada bab 3 membahas tentang menulis naskah berita televisi, tapi kegiatan meliput berita baru dibahas pada bab 4. Padahal berita baru bisa ditulis naskahnya ketika sudah melakukan liputan.
Pada bab 1 membahas tentang sejarah televisi, mulai dari asal mula kegiatan jurnalistik, penemuan mesin cetak, penemuan radio, hingga ditemukannya teknologi televisi oleh Paul Nipkow. Lalu dibahas juga tentang program siaran dan reporter. Pada bahasan tentang program siaran dikatakan bahwa program siaran televisi di Indonesia pada umumya diproduksi oleh stasiun televisi yang bersangkutan. Tapi pada paragraf berikutnya dikatakan bahwa di Indonesia, kecenderungan televisi swasta sudah mulai mengarah kepada sistem di Amerika, yaitu stasiun televisi tidak memproduksi sendiri semua program siarannya. Ini menunjukkan penulis menyanggah ucapannya sendiri.
Dalam buku Asyik Berbahasa Jurnalistik, dikatakan bahwa kata “adalah” digunakan untuk menyatakan definisi. Dalam buku Jurnalistik Televisi ditulis bahwa “reporter adalah sebutan bagi salah satu profesi yang digunakan dalam bisnis media massa.” Seharusnya penulis buku ini tidak menggunakan kata “adalah”, tapi menggunakan kata “merupakan”, karena yang ditulis tersebut bukan definisi dari kata reporter.
Pada bab 2 berjudul “Pengertian Berita”, ditulis bahwa berita adalah suatu fakta atau ide atau opini aktual yang menarik dan akurat serta dianggap penting bagi sejumlah besar pembaca, pendengar maupun penonton. Dalam artikel Wawancara dalam Konteks Jurnalisme karya Sahala Tua Saragih dikatakan bahwa ada dua fakta, yaitu fakta realitas psikologi dan fakta realitas sosiologi. Hal ini sesuai dengan pengertian berita dalam buku Jurnalistik Televisi, realitas psikologi memiliki makna sama fakta, sedangkan realitas sosiologi bermakna sama dengan opini.
Masih pada bab 2, ada bahasan tentang berita media televisi. Dalam bahasan ini dikatakan bahwa perbedaan berita di media elektronik dengan di media cetak hanya berbeda dari segi durasi penyajiannya. Saya tidak setuju dengan pernyataan ini. Media elektronik memang bisa diukur dari segi durasinya, tapi bagaimana dengan media cetak? Media cetak tidak bisa diukur durasinya. Seharusnya penulis tidak menggunakan satuan durasi dalam membandingkannya, melainkan menggunakan jenis bahasa penyajian berita, dimana pada media elektronik menggunakan bahasa tutur, sedangkan dalam media cetak menggunakan bahasa tulis.
Pada bahasan tentang memilih materi berita, berisi tentang menentukan nilai berita. Nilai berita yang disampaikan di buku ini sesuai dengan nilai berita yang diungkapkan dalam artikel Wawancara dalam Konteks Jurnalisme, seperti timeliness, proximity, dan sebagainya.
Pada bab 3 berjudul Menulis Naskah Berita Televisi dikatakan bahwa media elektronik bersifat sekilas. Hal ini sesuai dengan yang tertulis dalam buku Bahasa Jurnalistik.  Dalam buku tersebut dikatakan bahwa televisi memiliki sifat selintas, karena pesan-pesan televisi hanya dapat dilihat dan didengar secara sepintas.
Dalam bab ini juga dijelaskan tentang istilah soundbite, yaitu cuplikan wawancara televisi/radio yang dijadikan bagian dalam penyajian paket berita.  Berbeda dengan istilah dalam buku ini, seorang praktisi di bidang jurnalisme radio, Nursyawal, dalam kuliah umumnya menggunakan istilah clip atau insert untuk menggambarkan cuplikan wawancara tersebut.
Pada bab 4 berjudul “Meliput Berita Hingga Siap Siar” berisi segi teknis dalam meliput berita. Menurut saya, cukup jelas penjelasan dari bab ini, mulai dari persiapan meliput berita hingga petunjuk penggunaan tanda dalam penulisan naskah.
Bab 5 berjudul “Buletin, Format, dan Proses Penyiaran” menjelaskan program buletin pada televisi hingga keterlibatan crew studio dalam sebuah acara televisi. Menurut saya pembagian subbab dalam bab ini tidak sesuai dengan judul bab. Seharusnya bahasan tentang teleprompter dibahas dalam bab 6 berjudul “Standar Prosedur Pengoperasian”, karena teleprompter merupakan alat untuk dalam pengoperasian program televisi.
Bab 6 berjudul “Standar Prosedur Pengoperasian” membahas tentang reporter dan penyiar berita. Menurut saya, bahasan tentang reporter dan penyiar berita hanya merupakan pengulangan. Bahasan tentang reporter terdapat pada halaman 13, sedangkan bahasan tentang penyiar berita merupakan pengulangan dari halaman 147.
Bab 7 berjudul “Struktur Organisasi Kerja Bagian Pemberitaan” membahas tentang unsur-unsur dalam struktur organisasi di televisi. Sayangnya penulis tidak mencantumkan bagan dari struktur ini, padahal sebuah bagan bisa menggambarkan posisi tiap unsur dalam sebuah organisasi.
Secara keseluruhan, buku ini cukup bagus. Isi buku ini sudah cukup menggambarkan tentang jurnalisme televisi dan bahasa yang digunakan mudah dimengerti. Contoh kasus yang digunakan juga sesuai dengan teori dalam buku ini. Jika dilihat dari latar belakang penulis yang pernah bekerja di stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan kuliah di Amerika, menunjukan mengapa penulis banyak menggunakan contoh kasus dari TVRI dan Amerika. Kekurangan buku ini hanya pada sistematika penulisan yang kurang baik. Yaitu tidak jelas pembagian subbab dan bukan subbab.